Bobi |
Bobi berang-berang paling takut keluar dari sarang. Ada saja alasannya, sakit perut, ngantuk, atau kedinginan. Padahal, kakak-kakaknya sangat senang bermain di luar sarang. Mereka berenang, bercanda, dan mencari bunga lili air kesukaan mereka.
Sementara, Bobi, hanya memandangi dari dalam sarang.
“Bobi! Ayo ke sini!” ajak Boni, kakak sulungnya. “Ayo kita cari lili air!”
“Iya, ayo pergi bersama kami!” ajak Boci, kakaknya nomor dua.
Bobi menyembulkan kepalanya dari lubang kecil di sarang. Ia menggeleng. “Aku sakit perut!” serunya.
“Hu… selalu saja alasan,” cibir Boci.
“Sudahlah,” lerai Boni. “Ayo, Boci, kita pergi berdua saja!”
Bobi memandangi Boni dan Boci yang berenang menjauh. Suasana menjadi sepi. Sejak sore, Ayah dan Ibu sudah pergi ke hilir sungai. Mereka mencari ranting untuk menambal sarang yang bolong.
Ada alasannya kenapa Bobi tidak berani keluar sarang. Suatu sore, ia bermain sendiri di tepi sungai. Tanpa sengaja, Bobi mengikuti seekor ngengat masuk ke hutan. Bobi pun tersesat. Ia sangat takut. Terlebih lagi, hari semakin gelap dan lolongan srigala mulai terdengar. Srigala paling senang memangsa berang-berang sepertinya.
Untunglah, sayup-sayup didengarnya suara ekor ayahnya. Ayah memukul-mukul ekornya ke tanah, memberi tahu Bobi arah untuk pulang. Ia pun kembali ke sarang dengan selamat.
“Uh… lebih baik aku di sarang daripada bertemu srigala,” Bobi menghibur hatinya sendiri. Ia tidur-tiduran di atas tumpukan rumput kering.
Tiba-tiba saja, sarangnya bergetar hebat. Bruk! Bobi terguling jatuh. Ia segera mengintip keluar. Sebatang pohon menabrak sarang mereka. Pohon itu kokoh dan besar. Sarang mereka jadi berlubang dihantamnya.
“Oh, tidak! Aku harus cepat menghanyutkan pohon itu!” seru Bobi. Ia berenang keluar melalui lorong di bawah air dan mendorong pohon itu. “Uuh… berat sekali…!”
Pohon itu tidak bergerak sedikit pun. Rupanya, ranting-rantingnya menyangkut di sela-sela sarang.
“Aku harus minta tolong yang lainnya,” pikir Bobi. “Kalau didorong bersama, pasti bisa bergerak.”
Bobi segera berenang. Tapi, dengan cepat ia berhenti. Hatinya menciut. Hari mulai malam. Bobi tidak berani pergi sendiri. Apalagi dalam kegelapan seperti ini.
Kiki kura-kurang berenang melintas. Ia adalah sahabat Bobi.
“Hai, Bobi, ada apa? Kenapa kau bingung?” Tanya Kiki.
“Aku ingin mencari Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku. Tapi aku tidak berani pergi sendiri,” Bobi menjawab. “Aku harus minta tolong mereka menghanyutkan pohon ini.”
“Wah, kau tidak berani pergi sendiri?” tanya Kiki heran. “Kan asyik berenang di malam hari. Airnya juga tidak terlalu dingin.”
“Aku takut srigala. Mereka suka mengamat-amati dari balik semak-semak. Kalau aku berenang sendiri, mereka akan menangkapku,” Bobi menjelaskan.
Kiki mengangguk-angguk ,”Ooh… coba kau punya tempurung sepertiku ya. Jadi kau bisa aman berenang di sungai. Karena mereka tidak bisa melihatmu.”
“Oh, ya!” Bobi berseru senang. “Terima kasih, Kiki! Kau memberiku ide! Aku akan membuat tempurung seperti milikmu dari ranting-ranting kayu dan rumput kering.” Dengan cekatan, Bobi menyusun ranting-ranting kayu lalu menutupnya dengan rumput kering. Selesai sudah! Pelindung buatan Bobi siap digunakan.
“Aku pergi dulu, Kiki!” Bobi bersembunyi di bawah tempurung rantingnya dan berenang.
“Hati-hati, Bobi!” Kiki melambaikan tangannya.
Bobi berenang ke hilir sungai. Sebentar saja, ia sudah menemukan ayah, ibu, dan kakak-kakaknya. Berkat tempurung rantingnya, Bobi tidak lagi takut pergi sendiri.
----------
0 komentar:
Posting Komentar