28 Nov 2014

Tangan-tangan Ajaib

Tangan
Dulu ketika kecil, saya tidak terlalu menganggap serius tangan-tangan yang tidak mau diam ini. Kini semakin bertambah usia, ketika saya menengok ke belakang dan mengumpulkan cerita-cerita hidup saya, semakin saya menyadari bahwa di dalam kedua tangan ini ada kasih sayang yang Allah di dalamnya. Ada kelembutan dan karunia Allah di sela-sela jari-jarinya. Ada cinta Allah yang membuatnya bisa membuat aneka karya tanpa jemu dan lelah.

Bahkan, ketika kini beberapa kali saya 'terpaksa' diam karena sakit dan tidak melakukan apa-apa dengan tangan-tangan ini, saya merasa luar biasa jenuh. Tubuh saya boleh diam, otak saya mungkin tidak berpikir apa-apa, namun kedua tangan ini serasa ingin terus bergerak.

Ya Allah, titipkan rahmat dan berkah-Mu melalui tangan-tangan ini. Jadikan mereka jalan untuk aku meraih cinta sejati-Mu di syurga nanti... Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin....

Dongeng

Dari kecil, saya sudah suka mendongeng. Kebisaan ini saya dapat dari Papa. Dulu, ketika kami (anak-anaknya) masih kecil, setiap malam minggu Papa selalu meluangkan waktu untuk mendongeng untuk kami. Sambil tidur-tiduran di tikar, kami mendengar Papa mendongeng apa saja, mulai dari dongeng Si Kancil, Buaya Putih dari Kali Mati, Si Pitung, bahkan sampai cerita-cerita horor seperti Si Manis Jembatan Ancol, hantu di kebun raya Bogor, dan pengalaman-pengalaman mistis yang dialami oleh Opa, kakek kami.

Saya ingat, Papa selalu bersemangat setiap kali bercerita. Ia membuat cerita itu seakan-akan menjadi tampak nyata dan sungguh-sungguh terjadi, meskipun mungkin hanya dongeng. Kami pun senang menanggapinya, selalu menanyakan dengan penasaran dan sangsi apa benar kakek buyut kami kenal dengan Si Pitung, atau apa benar di kebun raya Bogor ada hantu yang bisa membuat tukang-tukang sate takut berjualan di sana? Anyway, kami semua sangat menikmati dongeng-dongeng yang diceritakan Papa.

Tumbuh besar sedikit, saya mulai mengikuti hobi Papa mendongeng. Saat pulang sekolah (SD), beberapa kali saya  mendongeng di rumah, di hadapan adik dan teman-teman dari sekitaran rumah. Setiap kali mendongeng, mereka (para penonton yang setia, hehe) mendengarkan dengan serius dan penuh rasa ingin tahu. Padahal, dalam hati diam-diam saya tertawa sendiri sambil berceletuk ,’Mau aja didongengin cerita boongan’ (usil banget ya?). Tapi, mungkin karena memang cerita yang saya bawakan menarik, mereka tetap mendengarkan dari awal hingga akhir.

Saya pernah mendongeng cerita yang saya karang mendadak setelah mengamat-amati sepasang sendok dan garpu. Saya juga sudah lupa jalan ceritanya, yang jelas ceritanya benar-benar lahir dari kreatifitas otak saya saat itu.

Bersamaan dengan mendongeng, saya mulai hobi saya mencorat-coret kertas. Kali ini, hobi saya ini saya pelajari diam-diam dari Mama. Karena Mama membuka salon di komplek rumah kami, saya sering melihat-lihat buku dan poster aneka model potongan rambut. Saya tertarik sekali dengan model-model rambut itu dan coba menggambarnya sendiri. Saya lalu membuat wajah perempuan dengan macam-macam rambut, laki-laki dengan janggut dan brewok, berlanjut ke ibu-ibu bertubuh kurus, gendut, dan lain-lain.

Lama-kelamaan, sambil menggambar orang, otak saya mulai mengarang sebuah alur cerita. Ya, lagi-lagi kembali ke cerita. Saya asyik menciptakan tokoh-tokoh dan ceritanya masing-masing. Banyak sekali. Buku-buku bekas dari kantor Papa yang masih bersih di bagian belakangnya habis saya corat-coret. Bahkan, buku tulis sekolah dan majalah anak-anak pun tidak lepas dari aneka gambar orang dan dekorasi.

Menggambar

Menjelang lulus SD, saya punya ide membuat lomba menggambar untuk anak-anak yang di sekitar rumah. Saya dan adik saya Vina pun ikut lomba itu dan menggambar dengan pensil warna dan krayon di kertas-kertas buku gambar kami. Hasilnya cukup lumayan, terkumpul kurang lebih 10 buah gambar beraneka tema, berwarna-warni. Teman-teman yang ikut lomba menggambar ini saya berikan suvenir kecil-kecil yang ada banyak di rumah (sebenarnya sih milik Mama dan Papa)

Saya dan adik saya tentunya tidak mendapat suvenir-suvenir itu tapi kami mendapat hal lain yang lebih keren: setumpuk gambar dengan aneka bentuk dan warna. Lalu, apa yang selanjutnya saya lakukan? Seluruh gambar itu saya tempel satu-persatu di dinding kamar hingga kamar kami tampak indah dan meriah. Kami sangat senang, tapi sayangnya kesenangan itu hanya dapat saya nikmati sesaat saja. Saat Mama dan Papa melihatnya, mereka marah dan menganggap kami mengotori kamar.

Akhirnya, dengan berat hati, gambar-gambar itu pun saya copoti lagi dan saya simpan. Melihat sikap Mama dan Papa tersebut, saya pun kembali ke hobi saya sebelumnya, yaitu mencorat-coret kertas dan buku bekas dengan dibumbui cerita.

Setelah menyadari bahwa saya ternyata tidak ‘berbakat’ di bidang seni rupa, akhirnya, pelan-pelan saya meninggalkan peralatan melukis.

Di bangku SMP hingga menjelang lulus, saya sama sekali ‘off’ dari keasyikan berkreasi dengan tangan-tangan ini. Saya lebih senang mendengarkan musik, membaca majalah GADIS, komik-komik Elexmedia, bermain dengan teman-teman sekolah, dan ikut bela diri di MP. Intinya, tidak banyak hal kreatif yang saya lakukan di masa ini, selain beberapa buah puisi pendek yang kadang saya kirim ke mading sekolah.

Ketika duduk di SMA-lah, saya mulai lebih menfokuskan diriku atas kesenangan di bidang bercerita. Saat di SMA, saya mulai menantang diri untuk sanggup menulis. Bukan sekedar mencoret-coret tidak tentu, tapi menjadikannya sebuah tulisan yang nyata.

Maka, di sela-sela jadwal sekolah, saya mulai menulis dengan komputer yang baru dibelikan Papa di rumah. Sebuah komputer yang untuk saat itu terbilang lumayan, yang di dalamnya terdapat program Word Star untuk membantu menulis.

Di SMA, saya menyelesaikan novelet pertama yang berjudul ‘Sahabat Yang Tersayang’. Isi ceritanya campur aduk antara persahabatan, romantisme, petualangan, dan misteri. Tapi, meski ada unsur romantismenya, tetap saja cerita ini tidak vulgar, karena saya merasa malu sendiri bila menulis cerita yang terlalu gimanaaa... banget. Tema persahabatanlah yang lebih saya kedepankan dalam novelet ini, selain misterinya yang membuatnya menjadi lebih menarik.

Selesai novelet Sahabat Yang Tersayang, saya kembali menulis sebuah novelet yang berjudul… (duh, kok lupa!!). Yang jelas, cerita yang kedua ini mengisahkan tentang kepribadian ganda seorang gadis cacat yang tinggal di pelosok Inggris. Kerinduannya pada sang ayah yang telah lama berpisah dengan ibunya membuatnya berhayal memiliki seorang teman yang tidak nyata. Di akhir cerita, gadis kecil tersebut meninggal dunia, namun dengan hati yang tenang setelah kegelisahan dan kerinduannya kepada sang ayah telah terobati. Cerita yang sedih dan melankolis, yang saya tulis setelah membaca buku Negeri Dan Bangsa di bagian Negara-Negara Eropa. Saat membuat cerita ini, saya membayangkan setting sebuah pedesaan ala Inggris yang sepi, sunyi, penuh bunga-bunga, serta kastil-kastil yang indah mempesona.

Masa di SMA ini adalah masa-masa yang penting bagi saya. Di masa inilah saya mulai menemukan kesenangan di bidang tulis-menulis, khususnya fiksi. Saya mulai menemukan sesuatu yang membanggakan dan membuat saya selalu bersemangat melakukannya. Menulis, membuat sebuah cerita, mengarang alur, menciptakan tokoh-tokoh, membuat setting, lalu menuliskannya sebagai cerita, menjadikannya bacaan yang dapat dinikmati tidak saja olehku, tapi juga oleh orang-orang di sekitar saya.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com