16 Apr 2015

Study Tour ke Pelita Desa Ciseeng, Bogor

 

Pelita Desa

Di kelas tiga ini, Aini dan teman-temannya mendapat kesempatan study tour ke Pelita Desa yang terletak di daerah Ciseeng, Bogor. Tempat ini adalah sebuah area outbound dan aktifitas outdoor yang diperuntukkan bagi anak-anak dan keluarga. Di dalamnya, anak-anak bisa melakukan flying fox, rafting (rakit), melewati jembatan gantung,  membajak sawah, memeras susu sapi, dan lain-lain. 

Sekitar pukul 9 kami akhirnya tiba di Pelita Desa, berbarengan dengan kedua bus dari sekolah. Saat telah turun dari mobil, saya berkesempatan berbicara sejenak dengan Aini. Seperti biasa, Aini turun paling terakhir dari bus. Ia tampak sedikit pucat dan berkata pada saya bahwa di dalam bus tadi ada beberapa anak perempuan yang muntah. 

Saya paham, kemungkinan hal itu terjadi karena perjalanan yang cukup jauh ditambah perbedaan cuaca yang cukup ekstrim selama perjalanan; panas terik matahari di luar dan dingin AC di dalam bus. Saya, para ibu dan nenek yang ikut menyertai anak-anak kami study tour harus membeli tiket sebelum masuk ke dalam Pelita Desa. Masing-masing kami membayar Rp 100.000,- yang sudah mencakup bonus snack (bakso) dan makan siang gratis. 

Setelah membeli tiket, barulah kami bisa masuk dan menyertai anak-anak. Ternyata, di dalam sudah ada banyak sekali pengunjung dari sekolah-sekolah lain. Murid-murid TK dan SD beserta guru-guru dan orangtua mereka ramai memenuhi pelosok tempat itu. 

Murid-murid dari sekolah Aini langsung dibagi menjadi 8 kelompok (4 perempuan dan 4 laki-laki) dan masing-masing kelompok diawasi oleh seorang instruktur. Para guru menyerahkan murid-murid ke instruktur-instruktur tersebut yang langsung mengarahkan mereka pada berbagai aktifitas outdoor di sana. 

Pertama kali, mereka melakukan pemanasan ringan berupa senam dilanjutkan lomba antar kelompok seperti tarik tambang dan memindahkan hulahup. Sejak awal kegiatan murid-murid diminta untuk melepaskan sepatu dan hanya mengenakan kaus kaki. Awalnya hal ini bukan masalah, terlebih karena mereka masih beraktifitas di atas lapangan berumput. 

Permainan Kelompok

Setelah memindahkan hulahup dan tarik tambang, murid-murid kemudian dibawa menuju ke lapangan di samping sebuah danau besar. Di sana mereka bermain lomba bakiak dan mengisi tabung bocor dengan air. Ada sedikit kekhawatiran muncul di hati saya ketika melihat Aini bertugas untuk mengambil air menggunakan sebuah ember kecil dari danau. Pinggir danau itu sangat curam dan danau itu terlihat dalam. Aini harus mengambil air dengan cara membungkuk di pinggir danau dan menyiduk air ke dalam embernya langsung. Saya khawatir Aini tidak seimbang dan terjatuh. Terlebih lagi, awalnya tidak ada seorang instruktur pun yang menyertainya. Hanya ada instruktur yang bertugas memimpin kelompoknya masing-masing dan seorang pemberi aba-aba. 

Syukurlah tidak lama kemudian instruktur kelompok mengambil alih mengambil air dari danau dan bukan Aini. Menurut saya hal ini sudah sepatutnya dilakukan karena sangat beresiko menyuruh anak kecil mengambil air sendiri dari pinggir danau tanpa penjagaan orang dewasa.

Setelah mulai bermain basah-basahan dengan air dari danau, instruktur utama lalu memberi tahu seluruh murid perempuan bahwa mereka akan menyeberangi danau dengan menggunakan rakit. Tujuannya adalah mencapai sisi lain danau tempat mereka akan naik ke sebuah menara untuk melakukan flying fox. 

Kekhawatiran selanjutnya muncul dalam hati saya ketika melihat bagaimana anak-anak "lompat" ke atas rakit dengan tergesa-gesa dan pengamanan yang kurang memadai. Untuk satu rakit diisi oleh seorang instruktur kelompok dan kurang lebih 12 anak. Anak-anak ini hanya memakai jaket pelampung yang dipasangkan dengan tergesa-gesa hingga banyak diantara mereka yang tidak terikat dengan sempurna. Melompat ke atas rakit pun terlihat terburu-buru dan begitu berada di atas rakit tidak ada orang dewasa yang menjaga mereka, hanya seorang instruktur yang berdiri di bagian depan dan bertugas mengayuh rakit. 

Saya sempat membujuk Aini agar mengurungkan niatnya menyeberangi danau dengan rakit dan jaket pelampung yang tidak terpasang sempurna itu, tapi Aini ngotot ingin ikut bersama teman-temannya. Akhirnya saya hanya bisa mengalah dan mengawasi dengan hati cemas. Danau itu cukup luas dan sepertinya cukup dalam, setidaknya bagi ukuran tubuh anak-anak. 

Saya memperhatikan Aini sempat sempoyongan ketika telah berada di atas rakit. Rupanya ia berusaha berjalan menghampiri teman-temannya yang telah lebih dulu naik dan berada di bagian depan rakit tapi tidak ada seorang pun yang menolong. Setelah rakit itu dikayuh menyeberangi danau, murid-murid keluar dari rakit dan kembali menyeberangi sebuah lintasan ban mengapung di atas danau, menuju ke menara flying fox. 

Aini sempat bercerita bahwa ia khawatir sekali saat harus melompati ban-ban tersebut karena salah melangkah ia akan jatuh ke dalam danau. Mengenai orang dewasa yang menjaga? Saya meragukan hal itu karena jumlah murid dalam satu kelompok terlalu banyak dibandingkan instruktur yang menanganinya. Sementara itu, saya berada ratusan meter jauhnya di seberang danau. Sehabis melewati ban-ban terapung, akhirnya mereka semua bergiliran naik flying fox. 

Namun, tidak semua anak menaikinya. Beberapa anak melalui jalan berputar dan kembali ke basecamp tempat mereka menyimpan tas. Saat saya tanya mengapa mereka tidak ikut naik flying fox, mereka hanya menggeleng dengan wajah tidak antusias. Saya bersyukur ketika Aini tiba dengan selamat menyeberangi danau dengan flying fox. 

Setelah itu, ia dan kelompoknya melakukan aktifitas lain yaitu masuk gua bawah tanah dan mewarnai, sebelum akhirnya mereka makan bakso bersama-sama. Jembatan Gantung Pelita Desa, Ciseeng Setelah menikmati snack berupa bakso hangat, Aini dan kelompoknya pun kembali berjalan menyusuri sisi danau menuju menara flying fox. Tapi, mereka tidak akan melakukan flying fox lagi melainkan akan melakukan kegiatan lain yaitu memeras susu sapi dan membajak sawah yang ada di dekat menara flying fox. Saya dan beberapa orangtua murid mengikuti mereka dari belakang. Saya ingin tahu persisnya kegiatan apa saja yang akan dilakukan oleh anak-anak selanjutnya dan mengambil beberapa foto yang mendukung. 

Di depan kandang sapi yang ukurannya tidak terlalu besar, murid-murid mengantri masuk didampingi oleh penjaga (bapak-bapak). Kelompok Aini pun menunggu giliran untuk masuk satu-persatu. Saya tidak berani mendekati kandang sapi tersebut karena baunya yang lumayan mengganggu penciuman. Namun, di sana saya melihat Aini sudah mulai gelisah. Akhirnya saya menghampirinya dan bertanya kepadanya kenapa ia gelisah. Rupanya ia sangat haus dan disaat yang sama juga ingin buang air kecil. 

Saya katakan padanya untuk meminta ijin kepada instruktur kelompoknya. Aini pun melakukannya. Ia minta ijin kepada instruktur untuk keluar dari barisan dan ke toilet. Saya takjub melihat bagaimana respon sang instruktur yang secepat kilat mengiyakan dan memberi aba-aba dengan tangannya bahwa toilet terletak tepat di sebelah belakang kandang sapi itu. 

Saya pun menemani Aini ke toilet. Ternyata, saat itu sedang ada renovasi di bagian kandang sapi tersebut dan ada beberapa orang dewasa laki-laki (tukang) yang hilir-mudik di dekat toilet. Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya tidak ada di sana. Aini harus ke kamar mandi untuk buang air sementara orang-orang dewasa laki-laki bersliweran di dekatnya. 

Akhirnya saya menemani Aini buang air kecil di dalam toilet yang gelap itu. Saya sengaja pilihkan toilet yang paling jauh dari lokasi renovasi, agar Aini merasa nyaman. Setelah itu, Aini kembali mengenakan kaus kaki yang dilepasnya sebelum ke toilet tadi dan kembali ke kelompoknya. Guess what... kelompoknya sudah tidak ada di kandang sapi lagi! 

Rupanya kelompok Aini sudah selesai dengan aktivitas memeras susu sapi dan kini sudah mengantri di depan sebuah jembatan gantung di atas balong kecil. Saya menanyakan Aini apakah ia masih ingin bermain? Aini mengangguk. Saya tahu antuasiasmenya sudah jauh berkurang dari sejak pertama kali datang ke sana, namun sepertinya ia masih tidak enak hati bila meminta ijin dan berhenti. 

Di saat yang sama, saya berpapasan dengan beberapa orangtua murid yang bercerita bahwa ada seorang murid perempuan yang kembali ke basecamp karena mimisan hebat. Saya pikir Aini pun mungkin bisa minta ijin kalau memang ia sudah tidak mau. 

Di jembatan gantung, seperti biasa sang instruktur hanya mengawasi di bagian belakang. Tidak ada satu pun yang berjaga di tengah. Saya kesal sekali karena sang instruktur membiarkan dua orang anak yang naik bersamaan dengan Aini bersikap semaunya. Mereka tidak sabaran dan dengan sengaja menggoyang-goyangkan tali jembatan sehingga Aini ketakutan. 

Selesai dengan jembatan gantung tersebut, saya pun menarik tangan Aini dan mengajaknya ke pinggir. Saya tanya lagi apakah ia masih ingin bermain. Aini menggeleng. Ia berkata bahwa sudah merasa capek, kakinya sakit, dan ia tidak betah dalam pakaian kotor dan basah seperti itu. 

Akhirnya, saya pun meminta ijin kepada instruktur kelompoknya untuk membawa Aini kembali ke basecamp. Awalnya, sang instruktur terlihat menyayangkan keputusan saya dan Aini tersebut, tapi saya tetap dengan pendirian saya. Saya yang lebih tahu Aini dan menurut saya itu adalah keputusan yang terbaik. Akhirnya instruktur itu pun mengijinkan. 

Saya membawa Aini berjalan kembali ke basecamp. Ketika akan kembali ke basecamp, Aini meminjam sandal yang saya pakai. Ia berkata bahwa kakinya sakit karena menyusuri jalan berbatu di dalam Pelita Desa. Akhirnya saya pinjamkan sandal saya dan saya pun berjalan tanpa sandal. Saya tahu Aini tidak berbohong karena ia berjalan dengan tertatih-tatih. 

Sekembalinya di basecamp, sudah ada dua orang murid (laki-laki dan perempuan) yang sudah lebih dulu beristirahat. Saya meminta ijin kepada guru pembimbing kelas untuk membawa Aini mandi dan berganti baju. Syukurlah guru-guru Aini baik dan membolehkan Aini beristirahat. 

Selesai mandi dan berganti baju, Aini makan bekal yang saya bawa dari rumah. Kami duduk di depan meja batu di bawah pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitar basecamp (di sisi danau). Saya bertanya apakah Aini menyesal tidak mengikuti semua kegiatan di sana sampai habis. Aini mantap menjawab tidak. Ia berkata bahwa ia sudah sangat lelah dan hanya ingin beristirahat dalam pakaian yang bersih. Ok, saya mengerti sekali apa yang Aini rasakan. 

Istirahat Makan Siang

Saya tidak ingin melakukan aktifitas lain yang belum ia lakukan di sana; membajak sawah, menaiki tambang laba-laba, mengambil ikan di kolam, dll. Study tour ke Pelita Desa Ciseeng itu harusnya bertujuan agar anak bersenang-senang di alam terbuka. Bila sudah tidak ada rasa senang, maka untuk apa dipaksakan. 

Setelah puas makan snack dan bermain dengan smartphone, Aini lalu menemani murid perempuan yang sedang beristirahat seorang diri di basecamp. Saya senang karena Aini memutuskan untuk melakukan hal yang baik tanpa saya suruh sebelumnya. Ia merasa kasihan dengan temannya yang hanya seorang diri ditemani para guru. 

Hampir satu setengah jam menunggu, akhirnya seluruh murid selesai beraktifitas dan kembali ke basecamp. Mereka mandi dan berganti pakaian, lalu makan siang bersama. Setelah makan siang, mereka bersantai sejenak sebelum akhirnya shalat zuhur berjamaah dan pulang ke Depok menggunakan bus. 

Perjalanan kali ke Pelita Desa Ciseeng selesai sudah, namun ada beberapa hal yang menjadi perhatian khusus saya selama di sana. Ini adalah beberapa catatan kecil dari perjalanan study tour Aini ke Pelita Desa Ciseeng. Apa yang saya tulis di sini murni hasil pengamatan dan pemikiran saya sendiri. Tidak ada maksud apa pun (apalagi menjelek-jelekkan) selain harapan akan adanya perbaikan di masa depan untuk anak-anak lain yang akan menikmati hari libur mereka di Pelita Desa.

Membajak Sawah dengan Kerbau

  • Jalan setapak berbatu mengelilingi area permainan sementara anak hanya diperbolehkan mengenakan kaus kaki sebagai alas kaki. Aini mengeluhkan kakinya yang sakit setelah berjalan ke sana kemari melewati jalan berbatu-batu besar hanya dengan kaus kaki.
  • Di area kandang kerbau pun anak hana diperbolehkan memakai kaus kaki. Menurut saya hal ini kurang baik untuk kesehatan, karena ada luka di terbuka di kaki maka kotoran di sekitar kandang kerbau bisa masuk dan berpotensi memberi penyakit tetanus.
  • Air kolam/ balong/ empang tempat anak-anak menyeberangi jembatan gantung sangat keruh. Bahkan, sudah ada gelembung-gelembung tanda adanya bakteri di dalam air. Bukan tidak mungkin anak-anak bisa terkena penyakit kulit bila bermain di dalamnya (beberapa teman sekelas Aini berkata kaki mereka gatal-gatal saat di rumah meskipun sudah mandi di sana setelah bermain).
  • Keamanan saat menaiki rakit. Anak-anak memakai jaket pelampung yang kebanyakan tidak dapat dikancing sempurna. Selain itu, saat melompat ke rakit pun tidak ada orang dewasa yang menjaga dan mereka bisa saja terpeleset jatuh ke danau. 
  • Jumlah anak dan instruktur dalam satu kelompok kurang berimbang. Satu instruktur harus menangani 12 orang anak sehingga mereka kurang terawasi dengan baik. 
    Sawah

Semoga apa yang menjadi pengamatan saya dapat bermanfaat untuk kebaikan bersama sehingga anak-anak dan keluarganya dapat benar-benar bersenang-senang di Pelita Desa Ciseeng tanpa rasa khawatir atas apa pun. Semoga saja, di masa depan khusus permainan dengan kerbau (memeras susu di kandang dan membajak sawah), anak-anak diijinkan memakai alas kaki tertutup seperti sepatu atau boot. -

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com