20 Jul 2015

Menentang Para Narsis

Dress Code

Ketika Ramadhan kemarin, saya berkesempatan membantu beberapa ibu tetangga satu komplek menyelenggarakan acara-acara Ramadhan. Ada beberapa acara yang diadakan di masjid komplek kami; pesantren kilat untuk anak dan remaja, santunan anak yatim, serta buka puasa bersama warga komplek.

Biasanya, para ibu tersebut menentukan kode warna baju atau jilbab yang harus dipakai saat acara berlangsung. Saya yang kurang senang dengan hal-hal seperti itu sejak awal sudah merasa tidak sreg. Namun saya hanya menyimpannya di dalam hati, karena saya pikir hal remeh seperti itu tidak pantas diributkan. Saya memilih mengalah dan menuruti apa yang mereka inginkan, termasuk ketika saya harus menjadi 'seksi sibuk' yang tidak jelas jabatannya namun mengurusi banyak hal.

Tapi pada suatu acara kesabaran saya tiba-tiba saja ditantang. Minggu sore itu acara yang diadakan adalah ceramah untuk anak-anak yang berasal dari komplek serta anak yatim dari daerah sekitar.

Saya sudah tahu ada kode baju pink untuk acara tersebut. Tapi, karena saya tidak punya baju pink, saya putuskan untuk memakai baju yang ada saja. Sesampainya di masjid, tiba-tiba saja dua orang ibu panitia berteriak-teriak sambil menarik tangan saya. Rupanya, mereka meminta saya untuk mengambil foto anaknya yang saat itu sedang membaca doa di bagian depan. Saya merasa sangat risih dengan perlakuan mereka.

Maksud saya datang ke acara itu adalah untuk meramaikan masjid bersama anak dan keponakan saya. Tidak sekalipun saya pernah diminta atau ditunjuk untuk menjadi penanggung jawab bagian dokumentasi. Bahkan, khusus acara hari itu, tidak sekalipun saya pernah diajak menjadi panitia penanggung jawabnya. Entah kenapa tiba-tiba saja mereka memaksa saya untuk mengambil foto.

Saya beralasan kamera smartphone saya tidak bagus untuk mengambil foto di dalam ruangan. Meski memang seperti itu adanya, alasan saya yang paling utama adalah ketidaksukaan saya diperlakukan tidak adil oleh para ibu tersebut. Saya adalah salah satu warga yang tinggal di komplek tersebut. Saya merasa berhak diperlakukan dengan baik dan santun, sebagaimana saya bersikap baik dan santun kepada warga lainnya.

Alih-alih demikian, saya merasa dipaksa. Tangan saya ditarik. Tubuh saya didorong ke depan agar saya mengambil foto... hanya karena anak-anak merekalah yang saat itu sedang tampil di depan. Kontan saja saya menolak dengan tegas. Tapi, karena mereka mendesak, akhirnya saya mengambil beberapa foto sambil bermuka masam.

Saya tahu sikap saya tersebut kekanak-kanakan, tapi apa yang mereka lakukan pun tidak lebih baik. Saya bersikap demikian agar mereka tahu bahwa sungguh tidak elok memaksa orang melakukan keinginan sendiri, apalagi dengan sikap semena-mena begitu. Tidak bisakah mereka bersikap lebih sopan dan meminta tolong dengan baik-baik? Saya tidak menuntut perlakuan istimewa, tapi saya tahu saya akan bersikap seperti itu kepada orang lain.

Acara hari itu berlangsung dengan sedikit rasa ketidaknyaman yang saya rasakan terhadap ibu-ibu panitia tersebut, tapi biarlah. Ada sedikit rasa puas di dalam hati saya karena saya telah berhasil menentang para narsis. Selama ini memang saya cenderung menurut dan mengalah, namun saat itu saya putuskan tidak.

Saya tidak suka orang narsis; mereka yang selalu merasa paling benar dan baik dibanding orang lain. Suatu saat, para narsis itu harus diingatkan bahwa mereka tidak selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com