17 Feb 2017

Pentingnya Sedia Obat Inhalasi Sendiri

Inhalasi
Hari minggu kemarin, Aini terserang batuk yang lumayan mengganggu. Tidak parah memang, tapi suara 'uhuk-uhuk' yang terdengar sambung-menyambung membuat saya kasihan dan khawatir.

Awalnya karena beberapa hari yang lalu ia, tanpa sepengatahuan saya, membuat roti puff pastry dengan isi selai coklat dan kacang. Selai coklat yang digunakan adalah selai ceres, sedangkan selai kacangnya dari morin. Ketika Aini meminta ijin untuk membuatnya, saya hanya mengiyakan tanpa mengeceknya. Aini sudah cukup mahir membuat aneka roti puff pastry dengan berbagai isian, jadi saya pikir tidak akan bermasalah. Ternyata saya salah, saya tidak mengecek seberapa banyak selai yang ia gunakan dalam satu potong roti.

Akhirnya, ketika ia selesai makan puff pastry dan tidak berapa lama kemudian mulai mengeluarkan suara 'ehem-ehem' dan suaranya serak, barulah saya sadar. Ternyata Aini menggunakan selai lumayan banyak dan akibatnya berpengaruh pada tenggorokannya yang sensitif. Bisa ditebak, besoknya gejala asmanya datang.

Bila biasanya asmanya dimulai dengan bersin-bersin, pilek, kemudian batuk dan akhirnya sesak nafas, kali ini gejalanya dimulai dari suaranya yang menghilang. Tiba-tiba saja, suara Aini menjadi 'imut-imut', kecil sekali seperti suara anak TK. Aini tampaknya menyadari hal itu dan bilang kepada saya bahwa suaranya mengecil. Saya juga sudah menyadarinya, dan sedikit curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Aini makan puff pastry berisi selai yang banyak kemarin. Tapi, karena tidak ada gejala asma lainnya, saya tidak terlalu memikirkan.

Perkiraan saya salah. Keesokan harinya hingga lusa, Aini mulai bentuk batuk-batuk kecil. Karena batuknya tidak parah dan sampai membuat demam yang menandakan iritasi, saya hanya memberikan obat batuk Ambroxol seperti biasa. Tetapi, semakin hari batuk Aini semakin bertambah berat. Ia juga mulai terlihat gampang lelah, sehingga akhirnya saya memutuskan sudah saatnya harus memberikan inhalasi.

Alhamdulillah kami sudah memiliki alat inhalasi (nebulator sendiri), sehingga bisa kami gunakan kapan pun kami butuh. Tapi, masalah lain tiba-tiba datang. Obat inhalasi dan suntikan yang biasanya saya simpan di dekat nebulator tiba-tiba saja tidak ada. Saya panik. Dibantu Ayah dan Aini, saya mengobrak-abrik seisi rumah. Mengecek setiap lemari dan laci, melihat ke atas lemari kalau-kalau saya lupa dan menyimpannya di sana. Tapi, kami tetap tidak bisa menemukan sisa beberapa buah ampul obat dan suntikannya itu. Akhirnya, kami hanya bisa pasrah dan menyimpulkan bahwa (mungkin saja) obat inhalasi dan suntikan itu jatuh dan terbuang oleh ART kami.

Kami pun mencoba membeli apa yang kami butuhkan tersebut di apotek. Apotek pertama yang kami datangi adalah K24. Di sana, kami bisa mendapatkan obat-obatan yang kami perlukan, tapi tidak dengan suntikannya. Di apotek kedua, apotek Kimia Farma, lagi-lagi kami tidak bisa mendapatkannya meski saya sudah menunjukkan obat-obatan yang baru kami beli untuk membuktikan bahwa suntikan itu tidak untuk disalahgunakan. Saya benar-benar sedih. Suntikan itu sangat kami perlukan untuk mengambil larutan Na Cl yang tersimpan di dalam botol infus. Tetapi, apotek-apotek tersebut tidak mau memberikannya kepada kami dengan berbagai alasan.

Di apotek terakhir, baru akhirnya saya memahami bahwa untuk mendapatkan suntikan tersebut harus melalui resep dokter. Suntikan tidak bisa dibeli secara langsung di apotek, harus ada dokter yang meresepkan untuk digunakan oleh pasien yang membutuhkan. Dalam kasus saya, satu-satunya cara adalah dengan memeriksakan Aini ke dokter terlebih dulu untuk mendapatkan resep agar saya bisa membeli suntikan dan obat-obatan inhalasi (lagi).

Kami pun memutuskan untuk membawa Aini ke klinik Nurul Fikri yang buka 24 jam. Meski tidak terlalu besar, klinik itu memiliki dokter jaga yang selalu siap memeriksa pasien. Karenanya, segera setelah Aini didaftarkan di resepsionis, ia pun bisa diperiksa oleh dokter.

Alhamdulillah, akhirnya kami bisa bernafas lega. Aini pun diperiksa dan diberi resep obat inhalasi dan suntikan yang sangat kami butuhkan. Dokter hanya berpesan pendek agar suntikan tersebut digunakan dengan tepat. Tentu saja saya dan Ayah kompak menjawab iya. Suntikan itu memang hanya akan kami gunakan untuk keperluan inhalasi, bukan untuk yang lainnya.

Akhirnya, Aini bisa diinhalasi di rumah menggunakan nebulator milik kami sendiri. Perjuangan mendapatkan obat inhalasi dan suntikan yang berliku-liku di hari itu menjadi kisah yang sangat berarti buat saya. Kisah Aini diinhalasi dan sebuah kejadian yang tidak mengenakkan karena tidak cocok dengan obat akan saya ceritakan di post berikutnya.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com