9 Jan 2019

Ketika Ayah/ Ibu Marah

Orangtua Marah

Marah adalah salah satu emosi yang muncul sebagai respon dari hal-hal di luar harapan/ keinginan seseorang. Bila seseorang menghadapi hal yang tidak ia harapkan/ inginkan, ia bisa menjadi sedih, kecewa, atau marah. Marah dapat terjadi secara spontan namun bisa juga hadir sebagai bentuk eskalasi (peningkatan) dari rasa sedih dan kecewa yang sudah berlebihan.

Marah yang spontan dan tidak berlebihan masih dapat dikategorikan wajar. Namun, marah menjadi tidak wajar bila berlebihan dan merupakan respon dari hal-hal diluar pemicu kemarahan itu sendiri. Sayangnya, ketika Ayah/ Ibu marah mereka sering tidak mengetahui perbedaan ini dan mencampur-adukkan keduanya. Akibatnya, mereka tidak bisa memisahkan kemarahan dan berespon berlebihan baik terhadap pemicunya dan hal-hal lain di sekitarnya.

Contoh hal tersebut sangat banyak; misalnya seorang Ayah yang marah karena disalip mobilnya di jalan tol dan hendak mengejar si penyalip. Awalnya ia mungkin hanya ingin memberi peringatan, namun ketika amarahnya menguasai hati sehingga tidak memedulikan keselamatan keluarga yang dibawanya, maka hal itu tidak lagi berhubungan dengan pemicu marahnya yaitu si penyalip. Hal lain ketika seorang Ibu yang marah karena anaknya merusak barang pribadinya, meski sudah diingatkan untuk tidak dimainkan. Ketika Ibu marah karena barangnya rusak, maka itu adalah respon yang wajar. Namun menjadi tidak wajar ketika kemudian Ibu bereaksi dengan memukul anak keras-keras hingga anak menangis karena takut dan sakit.

Respon berlebihan ketika Ayah/ Ibu marah itulah yang harus diketahui akar penyebabnya. Karena bisa jadi, kondisi jiwa Ayah/ Ibu sesungguhnya sudah lelah dan 'penuh' sehingga amarahnya meledak menjadi hal-hal yang lain. Kondisi jiwa yang lelah itu bisa disebabkan oleh rasa trauma, kesedihan, kekecewaan, dan juga amarah yang dipendam di dalam alam bawah sadar yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu.

Sebagai manusia biasa, Ayah/ Ibu mungkin memiliki trauma atau emosi negatif lainnya yang tidak terungkap. Misalnya saja latar belakang keluarga dengan KDRT, tuntutan orangtua di masa kecil, perselingkungan pasangan, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Akan sangat beruntung bila mereka dapat menemukan jalan untuk menyalurkan emosi tersebut seperti berkeluh-kesah kepada Tuhan, berbagi dengan teman/ pasangan, mendapat dukungan dari orantua, atau bahkan dengan mengunjungi psikolog. Emosi negatif yang mereka miliki tidak akan mengendap dan bertumpuk seiring waktu. Sehingga, bila di kemudian hari ada hal yang membuat marah, jiwa mereka lebih siap dan mampu memisahkan penyebab dan respon yang seharusnya.

Saya sendiri termasuk yang merasakan betapa berat dan membingungkannya ketika kondisi jiwa yang 'penuh' berhadapan dengan hal yang membuat marah atau kecewa. Misalnya ketika Aini tidak mau menuruti apa yang saya sarankan karena pertimbangannya sendiri. Sebagai orangtua, saya ingin yang terbaik untuk Aini menurut pemahaman dan pengalaman yang saya miliki. Namun, sebagai individu tentunya sangat wajar Aini memiliki pendapatnya sendiri yang ia rasa sanggup jalani. Saya yang saat itu kebetulan habis menghadapi 'konflik internal' dari keluarga besar meledak, menganggap Aini tidak mau menurut. Padahal masalahnya sangat sepele. Kalau saya ingat-ingat lagi moment tersebut, rasanya sangat menyesal sekali. Saya tidak bisa memisahkan permasalahan dengan Aini dan keluarga besar saya. Akibatnya, kekecewaan dan kemarahan yang terpendam dalam hati saya meluap dan jatuh pada Aini. Astaghfirullah... Ya Allah... sedih sekali rasanya kalau saya ingat hal itu.

Pun ketika suatu saat jiwa saya lelah dengan tuntutan keluarga besar dan di hari yang sama Ayah menegur saya karena serangan panik di jalan tol. Emosi saya meledak dan merasa bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang sayang pada saya. Padahal, Ayah menegur bukan karena tidak sayang namun saya patut ditegur. Tapi, jiwa saya yang 'penuh' membuat saya melantur ke mana-mana dan menyeret semua hal yang membuat saya kecewa.

Kadang, saya dapat menyadari bahwa ada hal lain yang menyebabkan saya marah selain penyebab utama kemarahan itu sendiri. Sesekali, saya bisa menguasai hati saya dan mengendalikan amarah dengan ber-istighfar dan melipir untuk menenangkan jiwa. Sambil saya merenung lagi dalam-dalam apa respon terbaik yang harus saya berikan dari peristiwa yang mengecewakan saya. Namun ada kalanya saya terlanjur 'meledak' dan baru kemudian menyadari dan menyesal karena tidak dapat mengendalikan amarah.

Berkaca dari apa yang saya alami sendiri, saya berusaha untuk tidak mudah menghakimi kasus lain ketika Ayah/ Ibu marah. Bisa jadi, mereka pun sama seperti saya, membawa beban yang melelahkan jiwa. Bisa jadi marah mereka sebenarnya bentuk keputusasaan dari permintaan tolong, kerinduan akan diangkatnya beban jiwa. Karena hanya seseorang yang memiliki jiwa yang jiwa tenanglah akal dan hati dapat mengetahui dengan jernih apa yang menjadi penyebab amarah dan bagaimana seharusnya ia bersikap.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com