27 Feb 2019

Saya Sebagai Penulis (1)

Penulis

Sebagai penulis, saya justru mulai menyampaikan cerita-cerita saya tidak lewat tulisan. Awalnya, saya bercerita lewat dongeng kepada adik-adik saya dan anak-anak tetangga di sekitar rumah. Kalau tidak salah, saat itu saya masih duduk di kelas 3 atau 4 SD sedangkan anak-anak tetangga itu seumuran dengan adik saya, sekitar dua atau tiga tahun lebih muda. Meski masih kecil saya sudah fasih mendongeng cerita yang, kalau dipikir lagi sekarang, agak absurd, aneh, dan kocak.

Salah satu dongeng yang masih saya ingat adalah tentang sendok dan garpu. Entah bagaimana isi ceritanya, saya sudah lupa sama sekali. Yang jelas terekam dalam ingatan saya hingga kini adalah wajah-wajah para 'pendengar' dongeng yang terkesima dan seakan-akan terhipnotis dengan cerita saya. Ya, adik saya dan anak-anak tetangga itu, sampai tidak berkedip dan mulutnya menganga mendengar saya bercerita hingga habis. Selesai mendongeng, ada rasa puas di dalam hati saya bisa 'menyihir' mereka lewat kata-kata dan sedikit, saya tekankan di sini, sedikiiiiiiit rasa geli melihat mereka yang mau saja saya 'kibuli' lewat dongeng. Padahal kan apa yang saya cerita tadi tidak nyata, tapi kok mereka percaya saja...? pikir saya saat itu. Little that I know that, what I felt that day would come again in more elegant ways after finishing more of my writings, years later.

Kesenangan saya mendongeng saya dapatkan dari dua orang : Wak Maman dan Papa. Wak Maman adalah kakaknya Mama. Orangnya energis, selalu ceria, kreatif, dan tidak pernah habis dengan ide-ide menarik. Beliau senang membuat mainan-mainan dari kayu seperti tempat tidur dan lemari untuk boneka, dan memberikannya untuk saya dan adik saya. Selain kreatif dengan pekerjaan tangan, Wak Maman juga senang mendongeng. Seringkali bila kami bersilaturahmi ke rumahnya, beliau mendongeng kepada kami dan anak-anaknya, cerita mulai dari yang lucu hingga seram. Ekspresi beliau saat mendongeng tidak bisa tergantikan, benar-benar lahir dari penghayatan atas cerita yang dibawakan. Sehingga kami yang mendengarnya ikut terpingkal-pingkal geli ataupun merasa ngeri.

Papa pun sering mendongeng kepada anak-anaknya ketika kami (saya, Aban, Vina, dan Avni) masih kecil. Biasanya Papa bercerita di malam hari libur sambil bersantai di teras ditemani kacang. Papa lebih banyak bercerita tentang sejarah keluarganya; kisah hidup Opa (Kakek) di masa muda, kisah masa kecil Papa, dan kehidupannya bersama 10 orang adik-adiknya. Pernah Papa mengisahkan cerita-cerita yang seram seperti tentang pedangang sate di kota Bogor yang bertemu dengan kuntilanak, kisah salah satu keluarga jauhnya yang menghilang karena durhaka kepada ibunya, dan macam-macam lagi. Saya rasa, dari Papa-lah saya banyak terinspirasi cerita-cerita yang lebih terkesan 'serius'.

Berbekal cerita-cerita yang dikisahkan secara lisan itulah, saya kemudian mulai mengarang dongeng saya sendiri. Dongeng yang kemudian saya ceritakan lagi kepada adik dan anak-anak tetangga di sekitaran rumah saya sepulang sekolah. Dongeng yang makin lama semakin berkembang karakter, alur, dan konflik ceritanya.

Menjelang SMP hingga SMA, saya tidak banyak mengarang cerita atau dongeng lagi. Saya mulai menjalani kehidupan sebagai pra-remaja dengan segala dinamikanya; aneka jenis teman dengan beragam latar belakang, pelajaran yang semakin sulit, hingga konflik tentang rasa percaya diri. Sehingga, saya lebih banyak diam dan berpikir analitis. Satu-satunya pelarian saya atas kejenuhan sekolah adalah mendengarkan lagu-lagu metal dan membuat aneka gambar berbentuk doodles.

Ketika SMA, saya memberanikan diri mengikuti lomba menulis di acara 17 Agustus-an di komplek perumahan saya. Saya lupa tema tulisan yang saya buat dengan tangan saat itu, kalau tidak salah pendapat saya (sebagai remaja) tentang kemerdekaan Indonesia. Ternyata saya menjadi juara di lomba tersebut dan mendapat hadiah berupa diary. Sebenarnya, saya agak curiga saya satu-satunya peserta di lomba tersebut. Karena anak-anak lain lebih memilih ikut lomba menari, menyanyi, kelereng, sepeda hias, dan lomba-lomba lainnya. Tapi tidak apa-apa, saya sangat senang dengan hadiah yang didapat. Lagipula, pengalaman itu membuat saya cukup yakin bahwa tulisan saya 'diterima' oleh orang lain yang membacanya.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com