2 Sep 2019

Mendengarkan dan Mengakui Perasaan-Perasaan Saat di SMA

Mengobrol

Sewaktu SMA, saya pernah memiliki perasaan tertentu kepada beberapa orang teman namun tidak pernah saya ungkapkan pada siapapun. Perasaan ini bukan perasaan romantis ke lawan jenis, namun perasaan bingung, heran, sedih, dan kecewa kepada teman sesama jenis. Namun, saat itu saya tidak punya siapa-siapa untuk tempat curhat (orangtua sibuk bekerja, adik-adik masih kecil, Om/ Tante/ Nenek tidak terlalu dekat); akibatnya secara tidak sadar saya masih membawa perasaan itu hingga dewasa.

Saya sempat merasa beberapa teman perempuan saya (baik yang sekelas maupun seorganisasi di sekolah), bersikap kurang 'wajar' terhadap saya. Awalnya mereka baik; saya pun bersikap baik dengan mereka. Mereka ramah, saya pun ramah. Namun lama-kelamaan, sikap mereka berubah. Ada yang menjadi cuek seakan-akan tidak kenal dengan saya (saking cueknya sampai bila saya berkata atau bertanya langsung kepadanya dia diam saja seperti tidak mendengar apa-apa). Ada yang, tahu bahwa saya memiliki fasilitas untuk mengetik dengan komputer dan mengeprint (tahun '90an awal) di rumah, membebani saya dengan pekerjaan administrasi di organisasi sekolah tanpa sedikitpun membantu hingga saya merasa kewalahan dan kesal. Bagi saya, apa yang mereka lakukan itu bukan siap yang seharusnya kepada teman yang mereka kenal.

Teman yang pertama, mungkin merasa terusik dengan keberadaan saya yang sekelas dengannya. Saya yang introvert, pendiam, dan sangat minder, tidak sejalan dengannya yang ekstrovert, periang, gaul, dll. Sehingga bila saya bicara dengannya, suara saya mungkin tidak terdengar sama sekali (terlebih kelas selalu gaduh dengan suara murid yang ribut) hingga saya benar-benar dianggap invisible olehnya. Yang saya rasakan saat itu adalah, apa yang salah dengan saya? Kenapa dia tidak peduli dan mendiamkan saya? Kenapa dia seakan-akan tidak menganggap saya ada?

Sedangkan, teman kedua sebenarnya cukup dekat dengan saya karena kami sama-sama mengikuti kegiatan di dalam dan luar sekolah. Saya anggap dia teman yang baik, setia kawan, mau menjadi tempat curhat tentang masalah pribadi saya. Namun, sikapnya saat di depan dan belakang saya adalah dua hal yang berbeda. Saat bersama saya, dia baik dan perhatian. Namun saat kami bersama dengan orang lain, dia tidak memedulikan saya sama sekali. Saat di depan orang lain, dirinyalah yang penting dan saya seakan-akan tidak ada. Saat itu, saya hanya bisa berpikir betapa aneh dan tidak wajarnya memiliki kepribadian yang berbeda-beda seperti itu. Apakah teman saya tersebut memiliki kepribadian ganda? Saya ingin sekali bercerita dan bertanya kepada seseorang, tapi tidak bisa.

Saat saya SMA, ayah dan ibu saya sedang di tahap pendakian karir. Ayah saya mulai mantap posisinya sebagai manager di kantor dan sehari-hari waktunya tersita untuk pekerjaannya. Ibu saya baru memulai sekolah TK dan Play Group miliknya sendiri, dan di waktu luangnya sibuk menambah ilmu agama. Adik-adik saya masih SMP dan SD, kakak saya sibuk dengan teman-temannya sendiri. Sedangkan saya, sebagai seorang introvert, hanya punya sedikit teman dan rasanya tidak nyaman membicarakan tentang seorang teman padahal kami semua bersekolah di tempat yang sama. Akibatnya, saya hanya bisa memendam perasaan tersebut di dalam hati seorang diri saja.

Kini setelah dewasa, beberapa kali saya melihat foto teman-teman saya tersebut di media sosial mereka dan perasaan yang pernah saya punya dulu kembali muncul. Saya tidak iri sama sekali dengan kehidupan yang mereka miliki saat ini. Semua kebaikan, keunggulan, dan keberuntungan yang mereka punyai justru ikut saya syukuri. Namun, sebersit tanya tetap hinggap di hati saya, kenapa dulu mereka bersikap seperti itu kepada saya...? Apakah saya yang salah kepada mereka? Benarkah apa yang saya rasakan itu ataukah hanya prasangka saya saja...? Ternyata, perasaan-perasaan itu, sekuat apapun saya pendam tetap ada di alam bawah sadar saya dan terkadang mengusik pikiran, meskipun tidak sampai mengganggu.

Akhirnya, saya putuskan untuk bercerita kepada Ayah mengenai apa yang saya rasakan saat di SMA tersebut. Sepanjang saya cerita, Ayah mendengarkan dengan perhatian. Sesekali saya memperlihatkan medsos teman-teman saya tersebut agar ia mendapat pemahaman lebih jelas mengenai orang-orang yang saya bicarakan. Di akhir pembicaraan, Ayah berkata bahwa ia paham dan mengerti apa yang saya rasakan saat itu. Ayah juga bilang bahwa apa yang saya rasakan itu wajar dan pantas, karena saya memang merasakan perbedaan sikap yang cukup ekstrim dari teman-teman saya tersebut.

Ayah bilang, bila suatu saat saya bertemu lagi dengan mereka, anggap saja mereka seperti orang biasa yang saya tahu namun tidak terlalu kenal dekat. Artinya, bersikap wajar dan ramah saja, tapi tidak perlu sampai membuka diri kepada mereka. Menyapa seperlunya saja dan tidak usah berusah-payah berusaha mendekatkan diri kepada mereka. Seperti kehidupan bertetangga di komplek rumah, cukup layangkan senyum ramah namun tetap menjaga dan menghormati batasan masing-masing keluarga.

Bagi saya, sikap Ayah yang mau mendengarkan dan mengakui perasaan-perasaan yang saya miliki tersebut sangat melegakan. Diri saya (dan saya sewaktu SMA) merasa dimengerti dan diterima. Bahwa apa yang saya rasakan saat itu adalah benar-benar ada dan bukan hanya hayalan saya saja. Bahwa saya saat itu memang merasa khawatir, kecewa, dan marah kepada teman-teman yang saya tersebut. Bahwa wajar saya merasa demikian karena saya sudah berusaha bersikap baik sebagai teman; tidak menuntut, menerima, membantu, baik, namun justru diperlakukan sebaliknya.

Selesai saya bercerita, rasanya tirai hitam yang menutupi salah satu ruangan di hati saya terangkat. Seakan-akan cahaya matahari masuk dan menembus kaca jendela di ruangan tersebut. Ruangan yang tadinya gelap hitam pekat tersebut, ditandai dengan perasaan 'nagih' dan selalu ingin bertanya setiap kali melihat foto teman-teman SMA tersebut di medsos, tiba-tiba jadi seperti lowong, kosong, dan terang-benderang. Seperti sesuatu yang tadinya ada di sana tiba-tiba hilang dan meninggalkan perasaan terang, nyaman, hangat.

Ruangan Kosong di Hati

Ruangan di hati saya tersebut, adalah salah satu dari milyaran memori atau alam bawah sadar, yang berasal dari masa lalu saya. Kini setelah tidak lagi ada beban di dalamnya, saya merasa siap untuk benar-benar untuk menutup dan melepaskannya. Saya tidak lagi merasa terusik untuk bertanya kepada teman-teman saya tersebut saat melihat wajah mereka di medsos. Saya bahkan tidak lagi terlalu ingin tahu sekali mengenai kehidupan mereka; seperti halnya saya tidak ingin tahu lebih dalam mengenai kehidupan rumah tangga tetangga saya. Mereka punya batasan, saya pun punya batasan. Mereka dan saya adalah sama kini. Mereka tidak lebih tinggi daripada saya (seperti yang dulu saya rasakan saat di sekolah) dan saya pun tidak. Kami sama dan sejajar. Apa yang perlu saya ketahui tentang mereka adalah yang sewajarnya saja; tidak kurang dan tidak lebih.

Apa yang saya dan Ayah lakukan; bercerita dan mendengarkan, menurut yang pernah saya pelajari adalah perilaku mengakui dan menvalidasi perasaan. Bahasa Inggrisnya adalah acknowledging and validating feelings, yaitu mendengarkan dan memperhatikan dengan penuh perhatian terhadap apa yang dirasakan seseorang kemudian menvalidasi atau mengakui perasaan tersebut.

Didengarkan dan diakui perasaannya adalah hal yang penting bagi setiap manusia, karena manusia memiliki unsur perasaan selain akal dan raga. Perasaan (baik positif maupun negatif) butuh untuk disalurkan dalam bentuk didengarkan, dimengerti, dan diakui. Bila tidak, maka perasaan akan terus tertinggal di dalam memori dan mengendap di alam bawah sadar. Sebagai contoh, orang-orang yang memendam perasaan negatif di masa lalunya bisa mengekspresikan perasan tersebut menjadi sikap antipati atau anti sosial di masa depannya. Orang lain yang kesulitan mengekspresikan perasaannya menjadi depresi, menderita berbagai penyakit psikosomatis, dan lain-lain.

Dengan didengarkan dan diakui perasaannya, seseorang jadi lebih mudah melepaskan perasaan tersebut (bila negatif) atau menyimpannya sebagai sumber kebaikan (bila positif). Seperti sebuah ruangan, bila berisi batu hitam besar maka ruangan itu menjadi sempit, tidak berguna, tidak memberi manfaat apa-apa, bahkan menjadi beban yang terus dibawa seumur hidup. Namun bila ruangan itu telah kosong dari beban dan penuh cahaya, maka bisa dihiasi dengan bunga-bunga yang indah, furnitur yang cantik, pengharum ruangan, dan sebagainya untuk berfungsi sebagai tempat bermeditasi, refleksi diri sendiri, relaksasi, dan merancang masa depan.

Curhat Ke Orangtua, Menvalidasi Perasaan

Acknowldeging feelings atau mendengarkan/ mengetahui/ memahami perasaan dilakukan dapat diungkap dengan kata-kata seperti 'Saya mengerti', 'Saya mendengarkan', 'Saya paham', dan harus disertai dengan sikap yang memperlihatkan kesungguhan mendengar. Hal-hal lain yang mengganggu konsentrasi harus ditinggalkan agar apa yang disampaikan bisa benar-benar dipahami oleh si pendengar.

Validating feelings atau mengakui/ mengesahkan perasaan bisa diungkapkan dengan kata-kata seperti 'Wajar kamu merasa seperti itu', 'Sudah pasti kamu akan merasa seperti itu', dan sejenisnya, diikuti dengan perilaku yang positif. Hal ini tidak akan efektif bila dilakukan dengan sikap mengecilkan perasaan seperti berkata 'Apa yang kamu rasakan tidak benar', 'Itu hanya perasaanmu saja', 'Berpikirlah positif', 'Jangan berpikir yang tidak-tidak', dan lain-lain. Karena sikap tersebut meniadakan perasaan yang sesungguhnya benar-benar ada dan dirasakan oleh yang berbicara di hadapannya.

Mendengarkan dan mengakui perasaan bisa dilakukan oleh siapapun; sesama pasangan, orangtua ke anak atau sebaliknya, sesama saudara, teman, dan lain-lain. Hanya saja bila memang sedang tidak siap untuk mendengar, sebaiknya diungkapkan di awal agar tidak terjadi kekecewaan. Katakan bahwa Anda akan siap mendengarkan di waktu yang lain atau setelah selesai mengerjakan suatu kewajiban. Perasaan yang didengarkan dan diakui akan lebih mudah diatur, karena tidak akan menetap di dalam hati seperti bom waktu yang menunggu meledak.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com