Hari Raya |
Setelah membaca dan merenungi komentar-komentar tentang "kesedihan" di Hari Raya, ternyata banyak yang berasal dari orang-orang dengan kepribadian introvert. Banyak dari mereka yang bercerita merasa tertekan ketika harus bertemu dengan orang banyak yang tidak terlalu mereka kenal, ikut berkeliling ke rumah keluarga besar, atau berada di tengah-tengah orang banyak selama beberapa waktu lamanya. Bagi mereka, Hari Raya yang seharusnya membawa kebahagiaan dan kegembiraan, berubah menjadi momen yang menakutkan, membuat stres, dan menyedihkan.
Bagi saya yang sanguin - plegmatis (ambivert), Ayah yang plegmatis - melankolis (introvert), dan Aini yang melankolis - plegmatis (introvert), ber-Hari Raya dengan keharusan menghabiskan waktu berjam-jam di tengah orang banyak (keluarga besar) yang saling tegur sapa, bercerita, dan tertawa dengan suara dan teriakan-teriakan bernada tinggi amat-sangat melelahkan.
Tidak jarang saya sampai menutup telinga karena tidak kuat mendengar suara-suara ramai dan bernada tinggi tersebut. Saya hanya bisa meringkuk di sisi luar keramaian, menunggu-nunggu kapan suasana kembali sepi. Tanda-tanda stres mulai saya rasakan; gelisah, berkeringat banyak, sakit perut, pusing, dan lain-lain. Saya ingin pergi dari sana tapi tidak bisa menemukan tempat di mana saya bisa menyepi.
Seharusnya, setelah melewati momen tersebut saya kembali me-recharge diri saya dengan istirahat yang cukup. Namun, lagi-lagi karena momen "Hari Raya", saya harus mengalah untuk melewatkan waktu tidur malam yang tenang. Suasana yang ramai dengan keluarga yang masih asyik bercengkrama hingga menjelang tengah malam membuat saya sulit tidur. Akibatnya, kapasitas fisik dan emosi saya terkuras; saya jadi merasa bad mood, sedih, sulit tersenyum, fisik lelah, sulit fokus, dll. Yang ada di kepala saya hanya satu: pulang. Rindu rumah, rindu kamar, rindu suasana yang sepi dan tenang. Rindu bisa menjadi diri saya sendiri seperti di rumah.
Aini beda lagi. Bila kelelahan fisik dan emosinya sudah tidak tertahan, ia jadi cenderung sakit entah itu batuk, pilek, atau sedikit gejala asma. Ia juga jadi jauh lebih diam dan menarik diri, padahal sehari-hari di rumah biasanya larut dalam canda dan tawa bersama saya dan ayahnya. Kalau Ayah, biasanya setelah momen Hari Raya berlalu, menghabiskan waktu berjam-jam dengan tidur, seakan-akan tubuhnya sedang berusaha mengembalikan dayanya yang jauh berkurang.
Apakah Kami Berbeda?
Bagi sebagian besar orang, mungkin kami terlihat aneh dan beda. Di saat orang lain merasa senang menikmati Hari Raya dan bersuka cita bersama keluarga besar, kami justru sebaliknya. Tapi saya yakin, banyak orang lain yang seperti kami. Ya, mereka, yang memiliki kepribadian introvert tersebut. Para sanguin - plegmatis dan sebaliknya (ambivert), plegmatis - melankolis dan sebaliknya (introvert murni), dan melankolis - koleris dan sebaliknya (ambivert).
Padahal, penting untuk diketahui, saya dan para introvert lainnya juga sama-sama menikmati suasana Hari Raya. Bedanya adalah, kami lebih suka menikmati Hari Raya dalam suasana yang lebih santai, kalem, tenang, dan tidak terlalu ramai. Okelah bila suasana yang ideal itu tidak bisa kami dapatkan; kami harus dan mau tidak mau berada dalam lingkungan yang ramai dan penuh orang, tapi kami butuh waktu dan tempat untuk sejenak mengistirahatkan pikiran dan fisik. Setelah me-recharge diri, kami akan kembali siap untuk bersosialisasi dan menikmati kebersamaan Hari Raya lagi. Jangan sampai emosi dan fisik kami terkuras habis tanpa kesempatan untuk mengisinya kembali. Sesaat menikmati ketenangan dan tidur tanpa gangguan, cukup untuk membuat kami bertenaga kembali. Setidaknya, itulah yang saya, Ayah, dan Aini rasakan.
Saya rasa, inilah pentingnya kita tahu bahwa setiap orang memiliki kepribadiannya sendiri-sendiri. Penting untuk memahami bahwa orang lain tidak sama dengan kita dan sebaliknya. Metode apapun sangat layak digunakan untuk lebih mengenali diri sendiri dan orang lain; baik dengan mengenali 4 temperamen manusia (sanguin plegmatis, melankolis, koleris), atau tes kepribadian, minat bakat, potensi diri, dll. Tujuannya adalah agar kita bisa menerima dan memahami bahwa perbedaan itu hal yang lumrah dan alamiah. Bahwa manusia tidak diciptakan sama dan karenanya wajar bila ada perbedaan dalam menyikapi suatu hal.
Sehingga nanti ketika tiba momen Hari Raya, tidak akan ada lagi orang yang merasa orang lain atau dirinya 'aneh' karena tidak bisa menikmati suasana riuh dan ramai di tengah banyak orang. Kemudian akan tumbuh keinginan untuk memahami dan menghormati perbedaan tersebut dengan memberi sejenak jeda dan jarak tanpa rasa curiga. Karena sesungguhnya kita semua ingin menikmati dan memberi makna Hari Raya, hanya dalam bentuk yang berbeda.
Juga, agar tidak perlu lagi ada pertanyaan tidak terjawab : Kenapa sebagian orang merasa berhak melepas rindu sambil tertawa, berbicara, dan berteriak dengan nada tinggi dan ramai tapi tidak merasa bahwa orang lain pun berhak untuk menikmati kebersamaan dalam suasana tenang?? Setiap manusia berhak menikmati kesenangan dirinya sendiri, namun itupun berbatasan dengan hak orang lain yang harus ia terima dan hormati.
Seandainya setiap orang bisa menerima hal itu, saya yakin tidak akan ada lagi cerita-cerita sedih di Hari Raya. Tidak akan ada lagi Hari Raya yang membuat stres, sedih, cemas, dll. Karena seperti sekeping kue kering, setiap kita bisa menikmati sisi-sisi di Hari Raya dan menikmati manisnya masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar