27 Jul 2023

"Mirroring" (Cermin)

Mirroring

Salah satu cara termudah untuk menghancurkan harga diri anak dan membuatnya merasa jadi manusia yang tidak berharga hingga ia dewasa adalah dengan tidak menjadi 'mirror' atau cermin baginya. Tidak acuhlah saat anak ingin bercerita tentang hari-harinya di sekolah; teman-teman yang baru ia temuinya, guru-guru yang membuat hatinya kesal atau senang, pelajaran yang menyulitkan atau membuatnya merasa seperti bintang kelas. 
 
Putarlah wajah ke arah lain ketika ia memanggilmu untuk mengajakmu ikut masuk ke dalam dunianya yang penuh dengan emosi naik dan turun. Pura-puralah sibuk dengan pekerjaan rumah atau pengajaran online; biarkan anak yang sedianya siap bercerita menelan ludahnya dan seluruh kisahnya di hari itu. 
 
Atau ketika anak bercerita dan menumpahkan emosinya, segeralah beberkan cerita mengenai anak atau orang lain yang ia kenal atau tidak kenal saat menghadapi dinamika yang sama. Perbesar kisah kesulitan mereka, agar anak merasa kesulitannya kecil dan tidak bermakna. Tinggikan kesuksesan mereka, agar anak merasa pencapaiannya belum berarti apa-apa. Bila perlu, ulang untuk kesekian kalinya lagi kisahmu sebagai orangtua lengkap dengan segala drama jatuh dan bangunnya. Maka anak akan merasa bahwa kisahnya, kesedihan dan kesenangannya, tidak sebanding dengan apa yang sudah dialami orangtuanya atau orang lain. 
 
Biarkan anak tenggelam dalam perasaannya; sedih yang tidak bisa diatasi dan senang yang tidak bisa dibagi. Karena semua itu tidak bermakna apa-apa di mata orangtua yang tidak bisa menjadi mirror, cermin, bagi diri mereka. Biarkan sekelumit rasa sedih terpendam dan lama-lama tumbuh menjadi bibit-bibit rendah diri. 
 
Ijinkan pendar kegembiraan di matanya meredup dan sayu, hingga lama-kelamaan pudar dan hilang selamanya. "I am worthless". "Aku tidak berarti". Adalah kalimat sakral yang akan ia ulang-ulang terus sejak kecil hingga dewasa, karena menyadari bahwa dirinya, emosinya, kondisi mentalnya, kekayaan pikirnya, kreatifitasnya, karya dan pencapaiannya, selalu tidak ada apa-apanya di mata kedua orangtuanya. 
 
Mata yang seharusnya menjadi cermin bagi jiwa anak agar ia dapat menemukan bayangannya. Mata yang semestinya memandang lembut, ramah, penuh perhatian ketika anak ingin menumpahkan dunianya pada orangtuanya. Mata yang sepatutnya ikut bersinar ketika anak bercerita mengenai kebahagiaannya, dan sendu ketika ia bercerita tentang kesedihannya. 
 
Sehingga anak mengetahui bahwa ia berharga dan kisahnya bermakna. 'Ayah Ibu mendengarkan dan menghargaiku, maka dunia ini pun pasti mau mendengar kisahku,' seperti itu ia membangun rasa berharga dirinya, sedikit demi sedikit. 
 
Sungguh tidak mudah menjadi menjadi orangtua. Tidak hanya rahim yang dipinjamkan selama 9 bulan serta keringat dan darah yang terus diperas dan dicucurkan, orangtua pun masih harus meminjamkan kedua matanya bagi anaknya. Mata yang melihat, mata yang mendengar, mata yang memahami, mata yang mengijinkan anak menangkap pantulan kelebihan dan kekurangannya tanpa merasa terhakimi. 
Mata yang memeluk. Mata yang membisikkan kata-kata penyemangat. 
 
Mata yang pada akhirnya akan membawa anak pada keyakinan bahwa : aku baik dan pantas menjadi manusia yang baik. Mata yang akan mengajarkan anak mantra, 'Tuhan Maha Baik karena telah memberikan Ayah dan Ibu yang baik kepadaku.'
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com