14 Mar 2014

Cerpen: Halte Biru, 11-01

Halte Biru

Mang Karta duduk di depan pikulannya, asyik mengipas tusuk-tusuk sate berisi potongan kikil dengan selembar kipas bambu. Harum sate bercampur bumbu kacang dan bawang putih tercium dengan segera, memaksa siapapun berada di sekitarnya menahan rongga perut yang tiba-tiba berkeruyuk. Suara langkah kaki terdengar di belakangnya. 

“Pak, beli tiga ribu.” Seorang perempuan muda berpakaian kantor duduk di kursi halte, tepat di sisinya. Wajahnya letih. Rambut lurus pendek sebahunya kusut berantakan. 

Mang Karta melirik sesaat, lalu dengan cekatan mengambil beberapa buah tusuk sate mentah dari dalam pikulannya. Tangannya bergerak cepat mengambil sehelai daun pisang, mengisinya dengan bumbu kacang, lalu mengaduknya dengan kecap yang sudah diberikan potongan bawang putih.

“Pedes, Neng?” 

Perempuan itu mengangkat wajahnya lalu mengangguk.

Mang Karta melirik lagi ke arah perempuan itu. Lalu, sambil meneruskan mengipas, ia berdehem pelan. “Dingin ya, Neng. Anginnya kenceng. Mendung,” ujarnya.

Perempuan itu menoleh, memandang penjual sate di sampingnya. Ia tidak segera menjawab, namun akhirnya mengangguk kecil. “Iya, Pak. Anginnya jelek, bikin sakit.”

Mang Karta menggeleng. “Hahaha... bukan, Neng, bukan anginnya yang jelek. Angin mah sudah dari sananya bertiup ke sana ke mari sesukanya, kita aja yang nggak menyiapkan diri menghadapinya. Angin lagi kenceng, kita pakai baju terbuka. Hujan turun deras, kita malah ada di luar rumah. Belum lagi makanan yang kita makan; nggak teraturlah, nggak sehat, nah, gimana kita nggak jadi gampang sakit?” 

Perempuan itu menatap Mang Karta. “Bapak sedang membicarakan siapa?” tanyanya kemudian. “Bapak sendiri, atau saya?”

Mang Karta tertawa kecil. Ia menaruh tusuk sate yang sudah dibakarnya di atas daun pisang berisi bumbu kacang. “Siapa saja, Neng. Ya saya, ya Eneng, ya yang lainnya. Silakan, Neng,” ia memberikan sate yang telah dibungkus oleh daun pisang kepada perempuan itu. “Eh, mau dibungkus plastik atau tidak, Neng?”

Perempuan itu menerima sate dan bergumam ragu. “Ng... bungkus, Pak.” Disodorkannya kembali sate itu. Namun, belum lagi sate itu berpindah tangan, ia menariknya kembali dan meletakkannya di atas pangkuannya. “Eh, nggak usah deh, Pak. Saya... saya makan di sini saja.”

Mang Karta menatap perempuan itu takjub. “Isinya ada 15 potong loh, Neng.”

“Iya Pak, saya tahu,” perempuan itu mengangguk. Lalu, seakan hendak membuktikan ucapannya, ia segera membuka bungkusan daun pisang itu, mengambil setusuk sate, dan memakannya cepat-cepat. “Enak, Pak.”

“Alhamdulillah,” Mang Karta tersenyum.

“Saya sedang menunggu jemputan teman. Daripada lapar, lebih baik saya makan dulu. Seperti yang bapak bilang tadi, makan yang benar supaya tidak sakit di cuaca seperti ini.” Tiba-tiba saja, perempuan itu berkata panjang lebar.

“Iya, Neng, bener.”

Perempuan itu mengambil setusuk lagi lalu memakannya. Mulutnya mendecap-decap. “Sambelnya pedes ya, Pak?”

Mang Karta menoleh. “Kepedesan, Neng? Saya ada air putih kalau Eneng mau.”

“Boleh minta, Pak?” Pintanya.

“Boleh.” 

Dengan sigap Mang Karta mengambil ceret alumunium kecil yang disimpan di dalam pikulannya. “Aduh, tapi nggak ada gelasnya, Neng! Saya cari dulu sebentar ya!”

Perempuan itu mengangguk cepat. 

Mang Karta berdiri dari tempat duduk jongkoknya, lalu setengah berlari menghampiri sebuah kios rokok di samping halte. Tangannya bergerak-gerak dan bibirnya komat-kamit berbisik. Wanita dengan dandanan menor yang duduk di dalam kios rokok menggeleng dengan wajah masam. Wajah Mang Karta terlihat kecewa. Cepat-cepat dihampirinya lagi perempuan muda yang duduk menunggu di samping pikulannya.

“Neng, tolong jaga dagangan saya dulu ya, saya pinjam gelas ke teman saya dulu.” Ujar Mang Karta sambil menunjuk sebuah gerobak bakso yang terletak beberapa meter di sebelah kiri halte. Perempuan itu mengangguk.

Beberapa menit berlalu. Akhirnya, Mang Karta datang kembali sambil memegang sebuah gelas plastik berwarna putih. Lalu, dengan segera diambilnya ceret dan dituangkannya air ke dalam gelas plastik tersebut.

“Silakan, Neng,” Mang Karta menyodorkan gelas tersebut.

Perempuan itu menerimanya dengan wajah senang dan segera menenggak habis isinya. Mang Karta memperhatikan pelanggan di sisinya tersebut dengan heran. Mula-mula lima belas tusuk sate kikil, lalu sekarang segelas air minum dalam waktu kurang dari dua detik. “Wah, Eneng ini lagi lapar dan haus ya?” celetuknya tanpa sadar.

Perempuan itu terkejut. Dengan wajah bersemu ia menyerahkan gelas tersebut kembali. “E... iya, Pak. Tadi pagi saya tidak sarapan sebelum berangkat kerja.”

“Ooh....”

“Pak,” perempuan itu mencuil bahu Mang Karta dengan daun pisang bekas pembungkus sate.

Mang Karta menoleh. “Ada apa, Neng?”

“Sekarang tanggal berapa?”

Mang Karta terkejut. Ada-ada saja pertanyaan perempuan tersebut. Namun, tidak urung ia berusaha mengingat-ingat. “Kalau nggak salah sih tanggal 11, Neng.”

“Oh...,” perempuan itu manggut-manggut. “Kenapa kalau tanggal 11 sering mendung seperti ini ya, Pak?” tanyanya dengan suara mengambang.

“Ah, Eneng ada-ada aja. Nggak setiap tanggal 11 mendung kok, Neng. Bulan kemarin cerah, buktinya saya bisa ikut hajatan di rumah Pak RT di kampung saya,” Ujar Mang Karta sambil merapikan deretan sate mentahnya.

Perempuan itu berujar lagi. “Buat saya, setiap tanggal 11 hari selalu mendung.”

“Kok bisa?”

Perempuan itu menatap Mang Karta. “Bapak mau dengar cerita saya?” 

“Yah, kalau Eneng nggak keberatan sih.”

Perempuan itu melihat ke kiri dan kanan sesaat. Suasana halte sore itu cukup sepi.

“Nggak kok, Pak. Senang malah,” sahut perempuan itu.

Perempuan itu lalu meluruskan duduknya lalu menghela nafas sejenak. “Sebenarnya ceritanya panjang, Pak, dimulai sewaktu saya masih kuliah tingkat tiga.”

Mang Karta memasang mimik seriusnya.

“Waktu itu, saya berkenalan dengan seorang laki-laki, kakak kelas. Orangnya cakep, seperti Richard Gere. Bapak tahu tidak, Richard Gere?”

“Wah, Bapak sih mana kenal sama bule, Neng,” ujar Mang Karta tersipu.

Perempuan itu menyeringai. “Richard Gere itu aktor Hollywood, Pak. Cakep, ganteng, jangkung, pokoknya begini deh!” Ia mengacungkan jempolnya dan tertawa kecil. Mang Karta ikut tertawa, mesti tidak tahu apa yang harus ditertawakan.

“Yah, singkatnya, saya dan dia akhirnya menjadi sepasang kekasih. Kami saling mencintai satu sama lain, memberi juga menerima. Kisah cinta kami seperti... seperti Romeo dan Juliet. Bapak pasti tidak tahu juga kan?” Tebaknya yang dijawab oleh gelengan spontan oleh Mang Karta. “Kami bahkan berjanji akan sehidup semati, membangun rumah tangga dan keluarga yang bahagia.”

Perempuan itu menerawang lagi. Bola matanya mengarah ke langit yang semakin mendung. “Tapi kemudian dia mengkhianati saya.”

Sampai di sana, wajahnya yang sedari tadi berubah-ubah antara senang dan sedih tersebut menjadi statis. Matanya suram, persis warna langit saat itu.

“Dia berpacaran dengan perempuan lain, seseorang yang sangat dekat dalam hidup saya. Di depan mata saya, mereka bercumbu dengan mesra, seakan-akan saya tidak ada di sana. Saya sangat muak!” Perempuan itu berdesis. Matanya nanar.

Mang Karta memandang iba.

“Bapak tahu, siapa perempuan itu?” Perempuan itu bertanya lagi.

Mang Karta menggeleng cepat.

“Dia... ibu saya!!” 

Suara nafas tertahan. Mang Karta ternganga, tidak mengira perempuan semanis itu memiliki kisah cinta yang sangat menyakitkan seperti itu!

“Saya pernah hampir mencoba bunuh diri,” ia lalu memperlihatkan pergelangan tangannya yang tertutup blazer. 

Mang Karta melongok, melihat garis-garis bekas luka berwarna kehitaman di pergelangan lengan yang halus langsat tersebut. “Kenapa, Neng? Bunuh diri itu kan dosa.” Mang Karta menyela.

Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya memandang lurus-lurus lantai halte dengan paving block yang sudah berlepasan di sana-sini. Perlahan-lahan, bibirnya bergetar pelan. “Karena... karena saya mengandung anaknya.” Lirih, ia berujar. Setetes air mata jatuh di pangkuannya. 

Mang Karta terlonjak. “Dia-eh, Eneng, ibu Eneng...?” Kalimat itu terputus begitu saja.

Perempuan itu menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya terguncang pelan. “Kenapa...? Kenapa dia tega?!” Isaknya kemudian.

Mang Karta menghela nafas panjang. Sangat panjang. Rasa mual dan jijik menyergap ulu hatinya. Bagaimana mungkin seorang pemuda mencintai seorang perempuan dan ibunya sekaligus? Bahkan sampai-sampai membuat perempuan itu mengandung anaknya!

“Pelan-pelan, saya coba untuk menerima kenyataan yang menyakitkan itu. Bahkan, saya menyiapkan diri untuk menerima dan membesarkan anak tersebut. Saya ingin mencintainya, dengan cinta yang tidak bisa diberikan ayahnya pada saya. Tanggal 11 Januari, saya melahirkan anak saya. Saya sangat bahagia, tapi ternyata ia tidak bertahan lama karena kelainan pada jantungnya. Ia meninggal satu jam setelah saya melahirkannya.” Isak perempuan itu kian getir terdengar. 

Mang Karta lagi-lagi hanya bisa menghela nafas panjang. Tidak terasa, sebutir air mata menyembul di sudut matanya.

Perempuan itu mengangkat wajahnya perlahan. “Anak laki-laki, sangat tampan mirip ayahnya. Ibu tertawa senang sewaktu mengetahui anak saya meninggal,” lanjutnya ,”sekarang saya sudah tidak punya tujuan hidup lagi. Setiap hari saya pergi kerja, tidak tahu untuk apa. Rasanya, saya ingin cepat-cepat menyusul anak saya.”

Mang Karta menggeleng perlahan. “Sabar, Neng....”

Perempuan itu sesenggukan. Wajahnya sendu.

“Eneng muslim?” Tanya Mang Karta.

Perempuan di sisinya mengangguk.

“Nah, kalau begitu Eneng harus yakin bahwa Allah itu maha pengampun. Kalau Eneng benar-benar bertaubat pada Allah, berbuat baik, banyak-banyak beribadah, Allah pasti akan menunjukkan jalan kembali pada-Nya.”

“Maksud Bapak?” Perempuan memicingkan matanya.

“Tadi Eneng bilang sekarang Eneng bingung, tidak punya arah dan tujuan hidup. Kalau Eneng mendekatkan diri pada Allah, mohon petunjuk pada-Nya, insya Allah Eneng akan mendapatkan lagi tujuan hidup Eneng.”

Perempuan itu menatap Mang Karta ragu. 

“Apa ... apakah Allah masih mau menerima taubat saya, Pak ...?”

Mang Karta mengangguk mantap. “Pasti, asalkan Eneng sungguh-sungguh.”

Perlahan, wajah perempuan itu berubah. Binar cerah mulai menghias kedua mata yang masih basah kemerahan. “Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama, Neng....”

Percakapan mereka terjeda. Seorang laki-laki dan perempuan yang sama-sama bertubuh subur mendekati penjual sate. 

“Beli tiga ribu, Bang!” Seru laki-laki bertubuh subur dengan pakaian kantor itu dengan suaranya yang berat. Perempuan di sisinya menyodok siku laki-laki tersebut. 

“Tambah lagi, Pa. Buat anak-anaknya si Iyem sekalian.” 

Akhirnya, mereka sepakat membeli sate kikil seharga lima ribu rupiah. Mang Karta pun kembali sibuk membakar sate dan membuat bumbu kacang. Tidak lupa, sebelumnya ia meminta maaf kepada perempuan yang ada di sisinya tersebut karena tidak bisa melayaninya bercakap-cakap selama beberapa menit. 

Perempuan itu menatap langit. Awan hitam masih juga bergulung-gulung pekat, menggantung berat dengan beban yang dikandungnya. Akhirnya. Satu tetes air jatuh di jalan raya depan halte.

“Sudah hujan, Pak.” Perempuan itu berkata pada Mang Karta yang masih sibuk membakar sate. 

“Eh-oh, iya, Neng,” Mang Karta menoleh sebentar. 

Sepasang laki-laki dan wanita bertubuh subur yang berdiri menunggu di samping pikulan sate ikut menoleh. Laki-laki bertubuh subur itu memperhatikan lekat-lekat raut wajah perempuan tersebut sampai lagi-lagi perempuan yang berdiri di sisinya menyodok rusuknya.

“Saya harus pergi, Pak.” Perempuan itu berdiri. Dirapikannya blazer dan roknya, lalu disampirkannya tas tangannya di bahu. Kemudian ia membuka tasnya kemudian mengambil selembar uang sepuluh ribuan dari dalamnya. “Ini uangnya, Pak.”

Mang Karta itu menerima uang tersebut dan cepat-cepat mengaduk-aduk laci kayu pada pikulan untuk mengambil uang kembalian.

“Nggak usah, Pak, jangan. Untuk Bapak saja kembaliannya.” Perempuan itu cepat-cepat menahan Mang Karta.

Mang Karta menatap perempuan tersebut haru. Ia tersenyum. “Terima kasih, Neng. Maaf, saya tidak bisa melayani pembicaraan Eneng.”

Perempuan itu tersenyum dan menggeleng pelan. “Sudah cukup, Pak, terima kasih banyak. Mari, Pak....” Perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah anggun. 

Mang Karta mengangguk sambil memandangi punggung perempuan itu menjauh. 

“Cepet, Bang!” Perempuan bertubuh subur menyentak. Wajahnya cemberut.

Mang Karta tersadar dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah sate selesai dibakar, ia segera meletakkannya di daun pisang, membungkusnya, kemudian menaruhnya hati-hati di dalam kantung plastik hitam. 

Laki-laki bertubuh subur segera membayar sate itu dan menggandeng perempuan di sisinya pergi. Langkah-langkah mereka berat menekan paving block yang retak. Titik-titik hujan yang turun satu-persatu menelan sosok mereka hingga hilang di tikungan jalan.
Sepi kembali.

Mang Karta mengangkat pikulannya ke bagian dalam halte agar percikan air hujan tidak membuat bara arangnya padam. Satu-persatu orang mulai berdatangan dan berdiri di bawah halte untuk berteduh dari hujan yang rintiknya bertambah deras.

Tiba-tiba saja, seorang perempuan setengah baya menerobos kerumunan orang-orang yang berdiri di bawah halte. Wajahnya pucat. Jilbab biru muda panjang yang menjela menutupi tubuhnya terayun mengikuti langkah kakinya.

“Ada yang melihat gadis ini?” Perempuan memperlihatkan selembar foto. “Mas, lihat nggak, tadi? Ini, yang di foto ini.” “Mbak, lihat nggak?” “Ibu?” “Pak?” Ia bertanya-tanya dengan gugup pada orang-orang yang berada di halte. Mereka semua menggeleng sambil mengernyitkan kening. 

“Pak, Bu? Dek ...??” Suara perempuan itu terdengar putus asa. 

Tiba-tiba, ia menghampiri laki-laki tua penjual sate kikil yang sedari tadi memperhatikannya dengan rasa ingin tahu. “Pak, lihat gadis ini tadi??” Tanyanya sambil menyodorkan selembar foto yang mulai usang tepat di depan muka Mang Karta.

Mang Karta terkejut. Foto itu, seorang perempuan berjilbab putih rapi dengan jubah panjang, duduk sambil tersenyum di bawah sebuah pohon rindang. Ia mengucek-ucek matanya tidak percaya. Wajah itu! Sama persis dengan perempuan berpakaian kantor yang mengajaknya bercerita dan beberapa menit lalu meninggalkannya. “Ibu ini siapanya?” Tanyanya cepat.

“Saya ibunya.”

Innalillahi. Mang Karta mengurut dadanya. Ia memperhatikan sosok di depannya. Sesosok wajah yang teduh, bersinar lembut, berjilbab serta berjubah panjang rapi.

“Saya... eh, kalau tidak salah, tadi dia ke sana,” Mang Karta menunjuk trotoar di sisi halte yang berakhir di tikungan jalan.

“Terima kasih, Pak.” Wajah perempuan itu terlihat senang. Dengan cepat ia melangkah ke pinggir halte dan melambaikan tangan. Tidak lama, sebuah mobil sedan mendekat. Perempuan itu membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke dalam. Sepintas, Mang Karta melihat sesosok laki-laki yang juga berusia setengah baya di belakang setir. “Ayo, Yah. Resta ke arah sana.”

Reflek, Mang Karta mengejar mobil tersebut lalu mengetuk kaca jendela mobil.

Perempuan berjilbab biru muda itu menurunkan kaca jendela. “Ada apa, Pak?”

“Tapi dia tidak berjilbab!” Seru Mang Karta cepat.

Perempuan itu tersenyum lembut. “Saya tahu, Pak. Kami orangtuanya,” ia menoleh ke laki-laki di sisinya ,”Resta sedang sakit, ia lari sewaktu terapi dengan psikiaternya.”

Mang Karta tertegun. Pahamlah ia bahwa perempuan itu, Resta, atau siapapun namanya, tidak sedang ada dalam kesadarannya ketika mereka mengobrol tadi.

“Mari, Pak.” Perempuan itu menaikkan kaca jendela mobilnya kembali. Mang Karta hanya berdiri menatap mobil tersebut menjauh. Rintik hujan kian deras.

Mang Karta duduk di depan pikulannya. Pikirannya berkecamuk. Kalau begitu, dari mana ia mendapatkan pakaian, sepatu, serta tas kantornya tadi? Lalu tentang ceritanya... apakah semua itu benar atau karangan saja? Tiba-tiba saja, ia teringat akan sesuatu.

Ditariknya laci kecil tempatnya menyimpan uang, dan diaduk-aduknya cemas. Tidak. Tidak ada. Ah, pasti ada. Ia merogoh kantong-kantong baju dan celananya, memeriksa bagian dalamnya. Kalau begitu pasti di laci. Ia menarik laci kecil itu lagi, membongkar isinya dengan tergesa. Jantungnya berpacu.

Tidak ada. 

Mang Karta menyandarkan tubuhnya ke tiang halte. Siang ini, ia menukarkan uang hasil penjualannya sejak pagi tadi dengan selembar lima puluh ribu rupiahan kepada perempuan di kios rokok. Ia ingat betul menyelipkan uang tersebut di antara uang-uangnya yang lain di dalam laci. Kini, uang tersebut tidak ada lagi. 

Mang Karta menghela nafas berat. Matanya menatap hujan yang menggenang di jalan. Ingatannya berputar pada semua gerak-gerik perempuan itu. Raut wajahnya yang lugu. Ceritanya yang menyentuh. Air mata dan isak tangisnya. Tiba-tiba, ia merasa sangat bodoh.

Nasi sudah jadi bubur. Hari ini ia hanya dapat pulang ke rumah gubuknya di kampung, menemui isterinya yang tengah hamil tua, dan menghibur kedua anaknya yang masih kecil dengan sebungkus kacang goreng murah dari kios rokok. 

Ia mereka-reka cara menceritakan nasibnya hari ini. Dimulai dengan mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul lalu mengisahkan sebuah cerita yang aneh tapi nyata. Dan ia sudah tahu pasti, kalimat pembuka cerita tersebut,

“Hari ini, tanggal 11, Bapak tertipu.” 

----------

Hak Milik Penulis Vani Diana

Dilarang mempublikasan ulang tanpa ijin penulis. Publikasi ulang memiliki konsekuensi hukum/ sangsi sosial.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Komunitas


Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com